Pelakon Makyong cilik sedang menunjukkan kebolehannya. F/ist |
Dikemas Lebih Kenes, Lebih Lucu dari OVJ
Galibnya, kesenian Makyong ditampilkan pelakon dewasa. Namun, bukan berarti anak-anak tak dapat membawakannya. Di tangan mereka, Makyong punya takrif sendiri.
FATIH MUFTIH, Tanjungpinang
Kepala raja Cik Wang pusing tujuh keliling. Istri tercintanya, Putri Nang Kanong, yang sedang berbadan dua, lagi ngidam. Bukan sembarang ngidam. Lantaran permaisuri cantik itu meminta dihidangkan daging rusa putih bunting sulung sulung ayah sulung bunde sulung segenap hutan cerang rimbanya. Maka, dipanggillah Awang Pengasuh untuk mencari orang sakti yang bisa menuruti permintaan putrinya.
Awang Pengasuh pun menghadap Wak Perambun, orang tua yang dikenal sakti lagi digdaya. Sebab perintah raja Cik Wang, Wak Perambun pun menyanggupinya. Berbekal panah mercudewa, Wak Perambun menjelajah hutan belantara. Singkat cerita, Wak Perambun pun bertemu anak naga yang berkenan menunjukkan rusa permintaan tuan putri. Terkejutlah Wak Perambun, karena rusa yang diminta raja, ternyata adalah bidadari kahyangan bernama Putri Nang Nora.
Kisah di atas adalah lakon singkat kesenian Makyong berjudul Wak Perambun yang dibawakan bocah-bocah dari Sanggar Ledang Balai Tuan Habieb Tanjungpinang, Sabtu (1/3), akhir pekan lalu. Pergelaran ini sengaja ditaja guna merayakan tahun jadi kedua grup Makyong muda di bawah Yayasan Konservatori Seni di Jalan Kuantan Nomor 13, Tanjungpinang.
Tidak ada panggung besar dan kilau lampu gemerlap dalam pertunjukan berdurasi satu jam itu. Karena digelar di sepatak lahan terbuka beralas tikar di tepi jalan. Hanya ada beberapa lampu sorot dan puluhan lampu colok temaram di sekitar area pertunjukan. Namun, tidak lantas mengurangi antusiasme pengunjung. Terlihat, ada ratusan orang yang rela berdiri di tepi jalan untuk menyaksikan pementasan. "Saya kira tadi ada ribut-ribut apa. Rupanya pentas seni," ucap Kanitreskrim Polsek Bukit Bestari AKP Efendri Ali, yang tinggal beberapa meter dari lokasi pertunjukan.
Diiringi gaung gong dan dengung momong, empat bocah perempuan berbalut songket hijau menari. Langkah mereka kian semarak seiring tetabuh gendang pengibu, gendang penganak, dan gendang kedombak. Tawa penonton sontak meledak ketika menyaksikan tingkah laku Awang Pengasuh berdialog dengan raja Cik Wang. Terlebih ketika kekeliruan justru dijadikan banyolan.
Makyong, yang sarat muatan mistis, seketika menjadi kesenian yang mengundang gelak tawa. Bahkan juga dijumpai beberapa modifikasi. Seperti ketika seluruh pelakon memeragakan goyang caesar ala acara lawakan televisi YKS. "Lebih lucu nonton ini daripada nonton OVJ," ucap David, warga perumahan Ganet, yang rela menempuh jarak enam kilometer untuk menyaksikan pergelaran Makyong muda ini.
Menurut David, anak-anak ini perlu diacungi jempol. "Mereka bermain dengan imajinasi sepenuhnya," kata mahasiswa ini. Pernyataan David ada benarnya. Pasalnya, tanpa setting, latar, dan aksesori tambahan, para pelakon dituntut dapat memerankan lakon seolah benar adanya. "Seperti tadi, pas adegan mandi di kolam. Kalau tanpa imajinasi, ya nggak bakal bisa deh," ujar David.
Tatkala para pelakon menghatur sembah, pertanda pertunjukan usai, ratusan penonton tak segan-segan menepukkan tangan. Nuansa ceria tersirat dari wajah para pelakon yang langsung menyambar air mineral. Termasuk Syarifah Nazla Al Qudsy, pemeran raja Cik Wang. Bocah kelas lima SD ini mengaku tak lelah meski perannya dalam lakon tersebut cukup dominan. "Kurang malahan," ujarnya. Durasi penampilan Makyong, kata siswi yang akrab dipanggil Aat ini, sesuai dengan permintaan pihak yang mengundang. "Pernah dulu nampil sampai tiga jam," sebut bocah 11 tahun ini.
Selama dua tahun menekuni Makyong, Aat tidak pernah menemukan kesulitan. Kendati untuk lihai bermain Makyong, dituntut menguasai tiga kecakapan. Berperan, menari, dan bernyanyi. "Saya kan juga hobi menari dan bernyanyi," ucapnya. Kesulitan, kata dia, hanya ada di awal-awal latihan saja. "Setelah itu semuanya mengalir gitu aja," tambahnya.
Tidak jauh berbeda dengan penuturan Raja Glen Hidayatullah, yang berperan sebagai Awang Pengasuh. Siswa kelas 7 SMPN 2 Tanjungpinang ini mengaku, sudah sejak kecil tertarik dengan dunia seni. Ketika kepala sekolahnya semasa SD menawarinya bergabung di grup Makyong muda, ia tak berpikir dua kali. "Awalnya bingung. Tapi enak juga," ujar bocah kelahiran Natuna ini. Lantaran Makyong juga, Glen bisa terbang hingga ke Jambi pada helatan Pementasan Budaya Melayu tahun lalu. Sementara untuk terus mengasah kemampuannya berlakon, Glen kerap berlatih di rumah. "Baca naskahnya, terus berakting di depan cermin," katanya terkekeh.
Lantas, siapa yang mengasuh sekolompok bocah-bocah pelakon Makyong ini hingga mampu berlaku kenes? Adalah Said Parman dan Elvi Lettriana, pasangan suami-istri yang semasa muda juga berlaku sebagai pelakon Makyong. Naskah Makyong yang semula diperuntukkan pelakon dewasa, digubah menjadi lebih sederhana, sehingga bisa dipahami anak-anak. "Tapi tetap tidak meninggalkan tradisi," kata Said Parman.
Sementara Elvi kebagian melatih olah gerak dan vokal para pelakon cilik itu. "Tidak jarang juga istri saya membantu menggubah naskah," tambahnya.
Ide untuk membentuk grup Makyong Muda, kata Parman, tercetus usai helatan akbar Revitalisasi Seni Budaya Melayu. Saat itu, Parman mengaku sempat
kesulitan mencari pelakon Makyong. "Pemainnya terbatas dan di usia lanjut semua," ucap mantan Kepala Dewan Kesenian Tanjungpinang ini. Setelah itu, terlintas di benaknya untuk mengumpulkan sejumlah bocah di sekitar rumahnya untuk berlatih melakonkan Makyong. Termasuk Aat, putri bungsunya.
Parman yang sudah menjadi pelakon Makyong sejak dekade 1980-an ini mengakui, melatih anak-anak dengan pelakon dewasa itu berbeda. "Materinya sama, cuma cara menyampaikannya yang beda," ujarnya. Dua kali seminggu, rumah Parman selalu disesaki anak-anak yang ingin menekuni Makyong. "Kalau mereka sudah datang, saya ajak nonton bareng pertunjukan Makyong di layar besar," jelasnya. Dengan itu, kata dia, secara tidak langsung anak-anak bisa mengerti pola kesenian Makyong.
"Ngambek sesekali itu sangat wajar," tambah Parman. Lantas, bagaimana cara membagi peran secara adil? Parman membeberkan strateginya. "Saya pantau setiap mereka berlatih," ujar Parman. Dari situ, lanjutnya, akan terlihat karakter masing-masing bocah. "Jadi bisa pas dengan peran yang akan dibawakan," tambahnya.
Ketunakan Parman selama dua tahun membuahkan hasil cerlang. Selain di Jambi, Makyong Muda besutannya juga sudah beberapa kali manggung di luar kota. Seperti Dabo Singkep hingga Yogyakarta. "Kalau sudah diajak ke luar kota, baru orang tua itu tahu betapa berharganya belajar kesenian," ucap Parman. Saat ini, tercatat ada 22 pelakon cilik yang terhimpun sebagai pelakon Makyong Muda Sanggar Ledang Balai Tuan Habieb. Bahkan, pemusiknya pun juga siswa-siswa SMA. "Saya mau yang main anak muda. Karena masa pakai mereka masih panjang," terang Parman. Sehingga, kata Parman, ada beberapa pelakon yang sudah bergabung sejak di usia taman kanak-kanak.
Sejalan dengan penetapan Makyong sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional, Parman berkeinginan Makyong di Kepulauan Riau terus eksis di tengah gempuran budaya modern. Oleh karena itu, Parman membuka pintu sanggarnya lebar-lebar bagi anak-anak yang ingin mengenal Makyong. "Tak perlu bayar. Cukup datang, mau, dan latihan," kata Parman. ***
Saya dari Malaysia.. perlukan no contact ketua Sanggar makyong untuk saya buat kajian mengenai makyong riau
BalasHapus