Suasana khidmat Tawur Kesanga di Pura Dharma Kherti, Lagoi, Bintan, Minggu (30/3). F/Faradilla |
Usai Melasti, ritual selanjutnya adalah Tawur Kesanga. Pada sesi ini, kian banyak yang mendatangi Pura Dharma Kerthi. Meski, sekadar menonton dan memotret.
FATIH MUFTIH, Bintan.
Sesaat sebelum Melasti, Sabtu (29/3) lalu, Batam Pos sempat berbincang dengan Iskandar, pekerja Pasar Oleh-oleh Bintan Resort Cakrawala (BRC) selaku pengelola kawasan wisata Lagoi. Dari Iskandar, diperoleh informasi, bahwasanya tradisi perayaan hari besar Nyepi turut disertakan di pamflet promosi. “Sudah sejak beberapa tahun yang lalu,” kata pekerja yang tinggal di Tanjungpinang ini. Selama itu pula, BRC selalu memfasilitasi segala kegiatan keagamaan Hindu di kawasan Lagoi. Iskandar sendiri menyebutkan, sudah empat tahun ini kedapatan bagian untuk turut membantu perayaan hari besar Nyepi. “Termasuk juga sepetak lahan yang dijadikan pura,” ungkap Iskandar.
Selaku pengelola, BRC berharap ritual keagamaan ini bisa menunjang jumlah kunjungan. Selain itu, tentu saja untuk menambah kenyamanan pekerja bergama hindu yang tersebar di seluruh kawasan wisata Lagoi, yang kebanyakan adalah pendatang. Jamak dari Bali. Beberapa dari Pulau Jawa.
Namun, Iskandar tidak menutup mata, bahwa Nyepi tahun ini lebih sepi dari tahun sebelumnya. Hal yang paling sederhana, kata dia, bisa dilihat dari dimensi ogoh-ogoh yang dibuat. “Tahun lalu, lebih besar dari ini,” katanya sambil menuding ogoh-ogoh yang sedang tahap penyelesaian. Setelah sejenak menengadah, Iskandar menyebutkan, hanya sekitar 60 orang saja yang mengikuti proses Nyepi tahun ini. “Banyak yang resign,” ungkapnya.
Apa yang diutarakan Iskandar, turut diamini Komang, pembuat ogoh-ogoh. Nyepi tahun lalu, kata Komang, dia dan teman-temannya membuat ogoh-ogoh yang lebih besar. Namun, karena banyak dari rekan-rekannya yang sudah tidak lagi mukim di Bintan, membuat Komang pun seakan kekurangan personel. Sehingga, Komang tak memungkiri, bila Nyepi tahun ini lebih sepi dari tahun kemarin. “Seperti bahan dijemur, terus menyusut,” ucapnya. “Tapi, biasanya pas Tawur Kesanga lebih ramai.”
Pura Kerthi Dharma mulai dipadati umat Hindu yang hendak melaksanakan sembahyang Tawur Kesanga. Ritual ini adalah upacara pecaruan yang diadakan setahun sekali, tepat pada tilem kesanga yaitu setiap akhir pergatian tahun saka, yang tahun ini bertarikh 30 Maret. Pada upacara tawur ini dilakukan persembahan kepada para bhuta berupa caru. Caru adalah kurban suci yaitu upacara yadnya, yang bertujuan untuk menghindarkan kejahatan bhuta yang mengganggu keseimbangan kekuatan buana alit maupun buana agung. “Buana alit itu diri kita sendiri. Buana agung itu ya dunia ini,” terang Ni Luh Ratnawati, 40.
Ibu dua anak yang akrab disapa Ratna ini sedang duduk di muka pura. Ada pantangan yang melarang dirinya turut berbaur dengan rekan lainnya mengaturkan sembahyang di dalam pura. “Saya lagi datang bulan,” ungkapnya. Sehingga, perempuan murah senyum kelahiran Karangasem, Bali ini, berkenan berbincang.
Nyepi, bagi spesialis pembuat kue di sebuah resort ini, adalah momen intim untuk pensucian diri atau – dalam bahasanya – buana alit. “Sebelum menyelematkan buana agung, buana alit dulu yang mesti diselamatkan,” terangnya. Ajaran turun-temurun ini, kata dia, sudah banyak diimplementasikan ke kehidupan yang lebih nyata saat ini. “Seperti memerangi global warming lewat eart hour,” ujarnya. Lewat upawasa caturbrata yang akan dimulai sejak Senin (31/3) pagi hingga keesokan hari, manusia bisa lebih mendekatkan diri kepada Penciptanya. “Karena kami harus amati geni (mematikan lampu), amati karya (tidak berkerja), amati lelungan (tidak berpergian), dan amati lelanguan (tidak bersenang-senang). Selama 24 jam untuk intropeksi diri setahun belakangan,” jelas Ratna. Dikatakannya, bahwa ajaran agama Hindu menyatakan, bila tak mampu membersihkan diri selama setahun, setidaknya ada satu hari untuk pembersihan. “Ya itu semua terangkum di upawasa caturbrata,” katanya.
Untuk menyucikan buana alit-nya, Ratna pun mesti memendam dalam-dalam kerinduan merayakan Nyepi di kampung halamannya. Sudah 10 tahun ini ia tidak Nyepi di Bali. “Pulang kalau anak-anak libur sekolah saja,” ucapnya sambil tertawa. Sepanjang pengalaman hidupnya, perempuan yang sudah 10 tahun tinggal di Lagoi ini mengatakan, perayaan Nyepi terbaik adalah di kampung halaman, ketika berkumpul bersama keluarga besar. “Tapi tergantung juga memaknainya seperti apa,” katanya sambil membenarkan sanggulnya. Ratna turut membenarkan pernyataan Iskandar dan Komang, kian tahun, Nyepi di Lagoi semakin sepi umatnya. “Karena banyak dari mereka yang sudah pindah kerja,” ujar Ratna. Banyak di antara rekan kerja Ratna, yang akhirnya pindah ke luar negeri atau pulang ke Bali. Tapi, itu semua tidak lantas mengurangi makna Nyepi buat Ratna.
Setelah Ratna berpamit diri, Batam Pos berkesempatan langsung menyaksikan upacara Tawur Kesangan di dalam pura. Di sebidang lahan yang tak lebih luas dari setengah lapangan bola, ada puluhan umat, laki-laki-wanita, menangkupkan tangan di atas kepala. Sedangkan anak-anak mereka turut duduk khidmat. Mata mereka memejam. Lonceng di tangan pemangku terus berkelonengan, sementara mulutnya terus merapal doa pada Sang Hyang Widi Wasa. Aroma setanggi terus menguar. Makin sore makin syahdu suasana di pura.
Tepat setelah matahari terbenam, pemangku mengakhiri doanya. Kemudian, pemuka adat berapakaian serbaputih itu membalik badan dari Padma Sana, bangunan dari batu yang merupakan simbol istana Tuhan, dan mencipratkan Tirtha Amerthi ke seluruh umat yang hadir. Air yang dicipratkan di tangan, sebagian juga diseruput untuk ditelan.
Sementara di luar pura, sudah banyak wisatawan, domestik maupun internasional, yang sudah siaga dengan kamera di dadanya. Sontak, ketika pemangku berserta umat itu keluar dari pura dan berbaris memanjang, kilatan lampu blitz menghunjami umat Hindu yang sudah bersiap mengarak ogoh-ogoh di barisan belakang.
Ogoh-ogoh kreasi anak muda Hindu Bintan sedang dikirab di Lagoi, Minggu (30/3). F/Faradilla |
Ogoh-ogoh setinggi lebih dari tiga meter itu dijinjing oleh 16 pemuda. Ketika beleganjur, alat musik tradisional Bali, dimainkan, kontan ogoh-ogoh digoyangkan. Wisatawan berkamera tak mau kehilangan momen. Moncong lensa kamera disorongkan ke arah butha kala yang ‘menari’. Satu di antara wisatawan itu adalah Lis Saidah, yang baru kali ini melihat prosesi perayaan Nyepi di Bintan. “Kiranya, Nyepi itu cuma di Bali aja. Di sini ada juga,” ucap perempuan berjilbab ini.
Tepat sekitar pukul 18.40 atau usai umat muslim di sebelah barat pura menunaikan ibadah salat magrib, ogoh-ogoh dikirab. Sesuai rute, barisan kirab ini akan mengelilingi seputaran dormitori. Setiap melewati tikungan atau persimpangan, langkah dihentikan sejenak. Beleganjur dibunyikan dengan tempo cepat. Ogoh-ogoh bergoyangan ligat. Terus-terusan. Hingga pemangku memberikan aba-aba untuk melanjutkan kirab.
Siapa sangka, wisatawan yang semula hanya puluhan saja, mendadak tak terhingga. Apalagi ketika kirab, sengaja dihentikan di tengah-tengah Pasar Oleh-oleh. Di balai ini, kian jamak terlihat wisatwan asing yang berebut kesempatan mengabadikan momen berlatarkan ogoh-ogoh. Kepala mereka manggut-manggut ketika seorang pembawa acara menjelaskan Nyepi dan ogoh-ogoh dengan bahasa Inggris. Inilah apa yang dikatakan Iskandar itu. Ketika ritual keagamaan dapat disandingkan dengan kepariwisataan. Bahkan, lima bocah perempuan cilik dari Keluarga Besar Hindu Dharma (KBHD) Bintan diminta membawakan tarian Puspa Anjali, tari persembahan Bali, di atas balai. Igal dan goyang-mata mereka memukau pengunjung. Tepuk tangan kontan bergemuruh usai tarian. Tak sedikit pula yang berfoto dengan penari bocah yang mengenakan pakaian adat Bali itu.
Kemudian kirab dilanjutkan. Tujuan selanjutnya adalah simpang empat menuju Pantai Suntuk. Di sini, ada satu ritual lagi yang mesti dilakukan. Yakni, Mecaru. Upacara ini adalah menghadiahkan persembahan kepada butha kala. Ada banyak sesaji yang ditabur di atas jalan. Ada alasan tertentu mengapa dilaksanakan di simpang empat. “Ini sebagai simbol bahwa kekuatan negatif itu bisa datang dari segala penjuru, maka perlu ‘dibersihkan’ juga,” terang Wayan, pemuda pembawa ogoh-ogoh yang tengah beristirahat sejenak. Usai pemangku adat menumpahkan sesaji, ogoh-ogoh pun kembali bergoyang. Lebih liar. Kaki-kaki 16 pemuda itu kemudian menginjak dan mengoyak-moyai sesaji. Ini disebut tawur.
Kirab selama kurang lebih 90 menit itu bermuara di tepi Pantai Suntuk, tempat upacara Melasti kemarin. Di sini, ogoh-ogoh butha kala yang sudah lepas kepalanya pun tangannya, diletakaan di atas pasir. Pemangku kembali membaca doa. “Puncaknya, butha kala atau simbol kejahatan itu harus dibakar sebelum Nyepi esok pagi,” terang Purwadi, penyuluh agama Hindu Kemenag Kepri.
Sambil ditunggui satu unit mobil pemadam kebakaran dan dua tabung pemadam ringan, api mulai menyulut ogoh-ogoh yang dibuat dalam waktu sebulan itu. Dimulai dari kaki hingga melumatkan tiga karakter pelukisan kekuatan jahat itu. Di sini, sudah tak terhitung lagi wisatawan yang memadati area pantai. “Esok pagi, kami akan upawasa caturbrata selama 24 jam,” terang Purwadi sambil menatap nyala api.
Sesaat sebelum bersurai, Purwadi mengatakan, masih ada satu tahapan Nyepi lagi. Yakni, Ngembak Geni, Selasa (1/4), atau ketika umat Hindu mengakhiri upawasa caturbrata-nya. Dimulai dengan persembahyangan dan pemanjatan doa kepada Hyang Widhi Wasa untuk kebaikan pada tahun yang baru. Seperti umat Muslim usai salat id, sangat dianjurkan,untuk saling merajut silaturahmi usai Ngembak Geni. “Kalau berkesempatan, boleh main ke rumah saya, Mas,” ujar Purwadi. Lantas, sambil mennyunggingkan senyum, Purwadi berujar, “Swastiastu Rahajeng Rahina Nyepi Caka 1936.” ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar