Rabu, 28 Mei 2014

Mengunjungi Pabrik Batu Bata di Kampung Lembah Cahaya, Pulau Puncung, Bintan (1)

 Rusmanto memegangi batu bata hasil buatannya,
Selasa (13/5). F/Fatih
Dua Puluh Ribu Keping Batu Bata Itu Menunggu

Semenjak dibukanya jalur Lintas Barat, sontak Lintas Tengah jadi lengang. Tak banyak lagi mata yang memandang keindahan Bintan di jalur ini. Padahal, di jalur ini ada pabrik pembuatan batu bata yang tertatih mempertahankan kelangsungan produksinya.

FATIH MUFTIH, Bintan.

Ketika melintasi jalur Lintas Tengah menuju Tanjung Uban, ada baiknya melambatkan laju kendaraan. Bukan semata-mata demi menjaga keselamatan, tapi akan sangat disayangkan bila pemandangan bebukit kehijauan yang ditumbuhi pelbagai jenis tumbuhan itu diabaikan. Sementara ketika melintas di KM. 56 Kampung Lembah Cahaya, dari arah Tanjungpinang menuju Tanjung Uban, melongoklah ke kanan. Di sana, mata akan tertumbuk pada sepetak tanah yang dijadikan industri kecil-kecilan.

Ini bukan industri pengolahan hasil bumi. Tapi, di atas lahan seluas 25 x 200 meter itu berdiri pabrik batu bata yang hanya dikelola lima orang saja. Batam Pos menjumpai Rusmanto, satu di antara lima pekerja yang tinggal 25 meter dari tungku (tobong) pembakaran. Pria bercambang tipis ini agak terkejut ketika dikunjungi. Lekas ia meraih kaus kuning yang disampirkannya di daun pintu tempat tinggalnya.

Lelaki asal Ciamis, Jawa Barat itu kemudian dengan senang hati menceritakan sisi lain pekerjaannya sebagai pengrajin batu bata. Pekerjaan ini baru digelutinya 1,5 tahun belakangan. Menurut bapak dua anak ini, pekerjaan membuat batu bata itu menguntungkan. "Modalnya sedikit, untungnya banyak," katanya seraya tertawa. Tapi, derai tawa itu tak lama, lekas-lekas ia redam. Ada sesuatu yang hendak ia sampaikan. "Untung bisa banyak, kalau ada yang membeli," ucapnya tanpa tawa.

Atok, demikian panggilan sehari-hari Rusmanto, mengatakan, dalam beberapa waktu terakhir ini, puluhan ribu batu bata yang sudah dicetak dan dibakarnya bersama teman-temannya itu tak kunjung jua berjodoh dengan pembeli. Padahal, sudah tersedia kurang lebih 20.000 keping batu bata yang sudah siap pakai. "Itu tinggal tunggu pembeli saja," ujar Atok dengan telunjuk yang menuding tumpukan batu bata yang tersebar di empat titik.

Kemudian Atok dengan langkah ringan menemani Batam Pos melihat lebih dekat "dapur kreatifnya". Terlihat, di dalam tobong berkapasitas 10 ribu keping batu bata itu, masih ada ribuan batu bata yang masih berhimpitan dan tumpang tindih. Di antaranya sudah memerah dan siap dikeluarkan. Tapi, Atok memilih untuk membiarkannya di situ. "Ngapain mau dikeluarin. Yang di luar saja belum laku kok," ucapnya.

Pembeli, bagi Atok, bisa dianalogikan semacam dewa penolong. Karena bila ribuan batu bata itu terus dibiarkan teronggok di halaman, tak menutup kemungkinan keping demi kepingnya akan rusak diterjang panas dan hujan. Sementara di sisi lain, masih ada ribuan keping batu bata basah yang belum dibakar. Baru dibakar, kata Atok, kalau sudah ada orang yang memesan. "Kan butuh modal juga untuk membeli kayu bakarnya," ujarnya. Sehingga, bila yang sudah terbakar tak terjual sama saja tak ada yang pembakaran selanjutnya.

Berapa harga satuan batu bata ukuran 20 x 5 sentimeter hasil produksi Atok dkk itu? "Kami biasa menjualnya Rp 1.200 per keping," terang Atok. Bila harga itu kemudian dikalikan dengan 5.000 keping batu bata yang teronggok di satu titik bisa dijual, tandanya Atok dkk bisa mengantongi duit mencapai Rp 6 juta. Bila dikalikan semua produksi batu bata yang sudah dibakar, yang menurut Atok ada sekitar 20 ribu keping lagi, pertanda ada uang tunai sebesar Rp 24 juta yang belum dapat dicairkan. "Selama itu belum terjual, untuk sementara kami tak produksi dulu," ujarnya.

Menurut Atok, jumlah 20 ribu keping batu bata itu adalah jumlah yang sedikit untuk pemakaian batu bata pada sebuah bangunan. Biasanya, kata dia, rumah berukuran 7 x 9 meter itu, setidaknya paling sedikit memerlukan 10 ribu keping batu bata. "Kenyataannya sekarang, jangankan 10 ribu, ini seribu aja tak laku-laku," ucap Atok.

Pria berlengan berotot ini menilai majalnya penjualan batu bata yang diproduksinya lebih karena kecenderungan orang-orang memilih batako sebagai bahan baku dinding rumahnya. Sedangkan pasar batu bata hanya dilirik oleh sebagian kontraktor yang menggarap ruko-ruko saja. Umumnya, kontraktor sudah punya langganan tetap penyedia batu bata. Hal ini yang merisaukan Atok dkk. "Kami tempatnya di tengah hutan, manalah kontraktor itu bisa tahu ada pabrik batu bata di sini," ungkapnya.
Padahal, ada serangkaian perjuangan yang mesti Atok dkk tempuh sebelum remah-remah tanah itu disulap menjadi bahan pokok bangunan. (bersambung) ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar