Mengunjungi Pabrik Batu Bata di Kampung Lembah Cahaya, Pulau Puncung, Bintan (2-Habis)

Meski sudah digali sedalam 25 meter, Rusmanto tak kunjung
jua mendapati tanah berkandungan kaolin. F/Fatih.

Berburu Kaolin Hingga ke Tanjungpinang

Untuk membuat batu bata yang berkualitas dibutuhkan mineral kaolin. Sementara tanah Bintan tak mengandung mineral berwarna agak keputihan itu. Meski sudah digali hingga kedalaman 25 meter. 

FATIH MUFTIH, Bintan.

Sebenarnya, segala jenis tanah bisa digunakan untuk membuat batu bata. Hanya saja, ketika berbicara kekuatan dan ketahanan, maka hanya tanah dengan kadar tertentu yang bisa menghasilkan kualitas batu bata nomor satu. Lazimnya, orang menyebut tanah liat atau tanah lempung. Namun sedikit yang tahu kandungan mineral yang membuat tanah itu kokoh dan padat kala dibakar. "Tanahnya harus mengandung kaolin," ujar Atok. 

Kaolin merupakan masa batuan yang tersusun dari material lempung (liat) dengan kandungan besi yang rendah. Kaolin mempunyai komposisi hidrous alumunium silikat (2H2O.Al2O3.2SiO2), dengan disertai beberapa mineral penyerta. Proses pembentukan kaolin (kaolinisasi) dapat terjadi melalui proses pelapukan dan proses hidrotermal alterasi pada batuan beku felspartik, mineral-mineral potas aluminium silka dan feldspar diubah menjadi kaolin. 

Di mata Atok, kaolin tak secantik namanya. Karena olehnya, Atok dan teman-teman sempat dibuat merugi puluhan juta. Dahulu, tuturnya, awal-awal menentukan lahan yang akan dijadikan sebagai pabrik batu, sempat dikatakan kepadanya, bahwa di setiap jengkal yang kini ditinggalinya dengan istri dan anaknya itu mengandung kaolin. Siapa yang tak bersuka-cita mendengar kabar itu. Pun Atok. Buru-buru mereka mendatangkan buldozer dengan biaya sewa puluhan juta rupiah, untuk menggali sebidang lahan di belakang tempat tinggalnya. "Kedalamannya sampai 25 meter," ucap Atok.

Usai berton-ton tanah galian berwarna kemerah-merahan itu dinaikkan ke permukaan, tangan Atok dan empat temannya lekas meracik dan mengolahnya menjadi keping-keping batu bata. Sontak mesin pencetak batu bata berwarna hijau tua yang didatangkan dari Medan itu tak pernah berhenti menggerung. Setelah ribuan keping batu bata basah itu ditata dan dibiarkan beberapa hari, tiba waktunya membakar. "Sebelum dibakar, tanahnya sangat keras," ucap Atok antusias. 

Ribuan batu bata itu kemudian sudah berpindah tempat, dimasukkan ke dalam tobong. Begitu juga kayu-kayu bakar yang biasa Atok beli seharga Rp 230 ribu tiap lorinya sudah ditata di tempatnya. Kobaran api dalam tobong membakar api selama dua hari dua malam. Tanah-tanah liat itu memerah. 

Setelah kayu habis terbakar dan dirasa cukup masa pembakaran, tiba saatnya Atok dkk mengeluarkan puluhan ribu keping batu bata. Betapa terkejutnya Atok kala mendapati batu bata hasil pembakaran dua malam itu berongga. Tanah yang semula keras dan padat mendadak menjadi remah-remah butir yang dipadatkan. Persis seumpama brownies. "Ternyata, kami dibohongi. Di sini, tanahnya tak mengandung kaolin," ucap Atok kesal. 

Alhasil, puluhan ribu keping batu bata dari tanah tanpa kaolin yang sudah kadung dibakar itu dikeluarkan dan tak laku dijual. Meski bisa menjualnya dengan harga rendah, Atok tetap bergeming. "Nanti malah ambruk rumah orang kalau pakai batu bata yang ini," katanya sambil mengambil sekeping batu bata gagal itu dan mengangsurkannya ke Batam Pos. 

Batu bata itu memang berbeda dengan batu bata yang diracik menggunakan tanah berkandungan kaolin. Bila ditetak sedikit saja, seperti biskuit, batu bata tanpa kaolin itu akan terbelah. Tapi, bila yang mengandung kaolin, ditetak sekuat apa pun tak goyah. Dibenturkan pun bunyinya menyerupai kaca. "Sangat berbeda bukan kualitasnya," ujar Atok. 

Lantas, dari mana Atok mendapatkan pasokan tanah berkadar kaolin? "Saya harus beli dari Tanjungpinang," jelasnya. Tentu saja untuk itu, diperlukan biaya lebih. Selain harga tanah itu sendiri, Atok juga mesti membayar uang jasa lori pengangkut yang akan menempuh jarak lebih dari 40 kilometer. . Memang, Atok mengakui harga tanah berkaolin di Tanjungpinang tak mahal. Untuk satu lorinya saja, Atok hanya perlu merogoh koceknya Rp 30 ribu. Tapi, biaya angkutnya mencapai Rp 100 ribu sekali rute pulang-pergi. Atok mengatakan, harga tanah berkaolin itu murah dikarenakan di Tanjungpinang tanah itu hanya sekadar tanah bekas galian lahan yang akan dijadikan perumahan. "Jadi kontraktor mempersilakan saja kami mengangkutnya berapa pun lori kami sanggup," ujarnya. 

Dari satu bak lori, Atok bisa mencetak lebih-kurang 4.000 keping batu bata. Seharusnya, dengan modal yang tak besar ini, ada keuntungan yang bisa diraup Atok dan keempat temannya.Tapi nyatanya, justru boleh dikatakan, ia lebih banyak merugi. Sehingga, lima serangkai pembuat bata ini pun melanjutkan kehidupannya masing-masing. Atok memilih menjadi pekebun. Ada sedikit bidang lahan kosong beberapa meter dari tobong. Meski itu hanya sekadar cukup untuk mengepulkan asap dapur. "Teman-teman saya yang lainnya juga gitu. Ada juga sih yang berdagang," jelasnya. 

Atok sendiri tak dapat memastikan masa kembali memproduksi batu bata. Kadang-kadang ia merindukan bisingnya gerung mesin pencetak batu bata yang sudah lama tak dihidupkannya itu. "Ini sudah belinya mahal dan dikirim pakai kapal laut dari Medan, sekarang masa cuma nganggur begini," ucapnya. "Kalau 20 ribu batu bata yang udah jadi itu laku, ya kami produksi lagi."

Bisnis batu bata, di mata lelaki perantau ini, tetap saja masih punya potensi laba tinggi. "Masih menggairahkan dan sangat menguntungkan," ujarnya. Lalu, ia kembali berhitung dari ongkos produksi hingga nilai jualnya. Secara teliti dan cermat, lengkap pula dengan selisih pemotongan biaya solar dan kayu bakar. "Sangat menguntungkan, bukan?" ujarnya. Sepertinya Atok lupa untuk menambahkan, sangat menguntungkan bila berhasil terjual. Bila tidak? ***