Abu (69) sedang menjahit celana pelanggannya sembari menunggu bendera jualannya laku terjual, Selasa (12/8). F/Fatih. |
Menambal Nasionalisme yang Dikoyak-koyak Sepi
Sudah jadi keharusan, hari kemerdekaan sebuah negara dirayakan. Dengan kibaran Merah-Putih di halaman. Sebagai pancang ingatan, di balik pengibaran itu ada perjuangan. Namun, hingga kemarin di Kijang, Sang Dwiwarna itu masih terjurai-jurai menjadi barang dagangan.
FATIH MUFTIH, Bintan.
Enam puluh sembilan tahun silam, Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Kemerdekaan yang diyakininya adalah hak setiap bangsa. Kemerdekaan yang berarti kebebasan bagi anak-anak bangsa mengelola dan membangun negaranya.
Memperjuangkan hak sebagai bangsa yang merdeka, tidak dilalui sambil lewa belaka. Ada darah yang tertumpah. Ada nyawa yang meregang. Ada harta yang terkuras. Atas nama kebaikan anak-cucu ke depannya, 69 tahun yang lalu itu semua bukanlah apa-apa.
Kini, para pejuang itu telah tiada. Tinggalah anak-anak muda, para pewaris bangsa, yang melanjutkan pembangunan atas dasar kemerdekaan yang pernah diperjuangkan kakek-nenek buyut mereka.
Banyak kemajuan pesat sesudahnya, termasuk di Kijang, Bintan Timur. Kini, bangunan-bangunan megah berhimpitan. Pemukimaan penduduk kian berapat-rapatan. Belum lagi ditunjang kesejahteraan masyarakat yang bersumber dari perut bumi yang melimpah.
"Bila bicara pembangunan fisik di Kijang ini, ya semakin baik saja tiap tahunnya," ujar Abu, 69, warga asli Kijang, ditemui Batam Pos Selasa (12/8) lalu.
Hanya saja, pria yang seusia dengan kemerdekaan Indonesia ini, menyayangkan jiwa nasionalisme yang kian luntur dari anak-anak muda Kijang. Semasa muda, prosesi pengibaran bendera di Lapangan Antam Kijang selalu gegap-gempita. Bahkan, saking padatnya, banyak warga yang pingsan di sana.
Tapi bukan itu saja rekaman Abu mengenai perayaan kemerdekaan di Kijang. Ia juga memahami betul fenomena degradasi jiwa nasionalisme kalangan pemuda lewat jejak profesinya sebagai tukang jahit, yang turut memproduksi Merah-Putih untuk menopang kehidupan.
Abu menuturkan, pembeli bendera setiap tahun terus menyusut. Kakek yang sudah setengah abad berprofesi sebagai penjahit ini mengaku sudah menjajakan Merah-Putih sejak awal Agustus silam. Namun, Merah-Putih yang berpindah tangan ke pembeli tak sebandinng lurus dengan jumlah hari ia berjualan. "Sehari bisa laku saja sudah sangat untung," ungkapnya.
Ada empat jenis ukuran Merah-Putih yang diproduksi kakek tanpa geligi depan ini. Untuk ukuran 40 x 60 sentimeter dihargainya Rp 12 ribu saja. Semakin besar tentu semakin mahal. Ukuran 50 x 75 dibanderol Rp 15 ribu, 60 x 95 Rp 25 ribu, dan yang paling besar, berukuran 100 x 150 sentimeter seharga Rp 45 ribu. "Yang paling besar itu belum laku-laku juga barang selembar," katanya.
Sebagian dari bendera-bendera yang dijualnya di tepi jalan Barek Motor itu, sambung Abu, adalah hasil jahitan setahun silam. Meski begitu, Abu tetap memproduksi bendera baru tahun ini. "Kurang lengkap saja rasanya kalau tak juga menjahit bendera merah putih," akunya. Akibat pilihan sikap itu, Abu harus berani merugi. Tapi, apa yang menjadi pilihan hati tak pernah membenci. "Paling tidak, saya bisa merayakan kemerdekaan dengan segenap perasaan kala menjahit bendera," ujarnya.
Yang Abu yakini, sampai kapan pun bendera Merah-Putih tetap akan dicari orang. "Ini identitas kita semua, tak mungkin terganti warna bendera yang berkibar di halaman rumah kita," katanya berapi-api. Keyakinan itu membuahkan hasil. Bendera sebagai identitas menjadi komoditas tersendiri bagi para nelayan.
Beberapa nelayan Kijang, kata Abu, masih berlangganan bendera dengan dirinya. Untuk bendera kapal nelayan, ukuran yang jamak dipesan adalah 50 x 75 sentimeter. Dari pangsa pasar nelayan inilah, bendera-bendera yang dijahit Abu dengan mesin jahit tuanya itu mampu menjaga nasionalisme hingga ke tengah laut perbatasan. "Kalau tak pakai bendera, nelayan itu juga takut kalau terjadi apa-apa," ucapnya. Inilah kebanggaan Abu yang tak pernah tergantikan dengan nominal-nominal Rupiah.
Masih banyak halaman kantor-kantor pemerintahan, kawasan perdagangan, hingga perumahan di Bintan Timur yang belum bertiang dengan kibaran Merah-Putih. Keadaan ini membuat Bupati Bintan, Ansar Ahmad menyurati secara resmi seluruh camat di Bintan. Surat imbauan agar diteruskan kepada seluruh masyarakat Kijang agar turut mengibarkan Merah-Putih di halaman.
Meski demikian, imbauan itu rupanya tak banyak berimbas dengan penjualan Merah-Putih di kios Abu. Padahal, keuntungan yang didapatnya dari sini, kata dia, hanya cukup untuk makan belaka. Tapi, atas nama kebanggaan dan semangat merayakan kemerdekaan, Abu tak pernah kecewa. Laku atau tidak bukan lagi urusannya.
Setelah beberapa menit Batam Pos berbincang dengan kakek yang pernah lama bekerja di Batam ini, tiba-tiba seorang pegawai berseragam coklat memarkir motor di depan kios. Abu beranjak dari kursinya sambil menyunggingkan senyum. Dilayaninya pegawai yang digaji negara itu penuh kehangatan sambil menyebutkan harga bendera produksinya.
Tetapi tak ada transaksi di sana seusai pegawai itu menggeber laju motornya. "Cuma tanya harga saja," kata Abu seraya menyunggingkan senyum.
Dengan langkah ringan, ia kembali bertekuk di balik mesin jahitnya. Dengan ligat, tangannya menambal celana bolong milik pelanggannya. Lantas, bisakah Abu menambal kebolongan jiwa nasionalisme yang sudah - meminjam puisi Chairil - dikoyak-koyak sepi?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar