Rabu, 28 Mei 2014

Catatan Pentas Budaya Ritual Kesenian Melayu di Tanjungpinang

Atraksi kebal bacok dan api Perguruan Silat Teratai Merah
di pelataran Ocean Corner, Sabtu (24/5). F/Yusnadi
Memangkas Gap Budaya Lewat Pertunjukan

Bunian-bunian itu justru diundang. Dipanggil dengan ritus-ritus. Dupa dibakar. Pulut kuning disajikan. Putik mayang kelapa ditebarkan. Bukan oleh seorang bomoh. Tapi, sekumpulan anak kemarin sore.

FATIH MUFTIH, Tanjungpinang.

Selama ini ritus kerap dikait-eratkan dengan sosok tua, berjanggut putih, berbadan kerempeng, dengan cara jalan yang tertatih-tatih, dan suara berat yang dilontarkan. Sehingga, banyak tradisi upacara adat yang ada di Indonesia mulai terhimpit dan tergantikan dengan eksistensi peranti elektronik yang tak pernah lepas dari tangan. 

Ritus, yang pada mulanya erat dengan mistis, makhluk gaib, dan supranatural, Sabtu (24/5) malam lalu menjelma jadi suguhan pementasan. Bertajuk Pentas Budaya Ritual Kesenian Daerah yang ditaja Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tanjungpinang, akhir pekan lalu tiba giliran ritual kesenian Melayu dipanggungkan, setelah dua pekan sebelumnya ritual kesenian Lombok dimulakan, di pelataran Anjung Cahaya. 

Ada pemandangan yang berbeda. Bukan semata-mata tempat pelaksanaan, yang bergeser ke pelataran Ocean Corner. Melainkan suasana penampil yang terlihat lebih segar. Lebih hijau, bila dianalogikan sebagai daun. Sang sutradara, Yoan Sutrisna Nugraha (25), menyebutkan usia semua pemainnya tak ada yang melebihi dirinya. Bahkan, beberapa kali tertangkap mata anak-anak SD juga turut dilibatkan. Ritus, yang semula jauh dengan anak muda, digarap Yoan jadi lebih dekat. 

Boleh dikatakan, tradisi silat persembahan sudah akrab di mata. Biasa dipentaskan untuk menyambut kedatangan tamu, persis seumpama tari persembahan. Namun, ketika mendengar ritual Semah Jong dan Mayang Berambe, tidak banyak orang yang tahu. Apalagi usia di bawah 25 tahun, yang sudah terlalu akrab dengan jejaring sosial. "Padahal, dulunya ritual itu sangat dekat dengan masyarakat Melayu," terang Yoan. 

Seperti ritual Semah Jong. Ini merupakan ritus yang biasa dilakukan orang-orang dulu untuk mensyukuri hasil bumi yang didapatkan sekaligus membuang bala dari padah yang sudah berdekat. Yakni, dengan melarung sesaji yang diletakkan di perahu seukuran depa orang dewasa itu ke laut. "Orang Melayu menyebut perahu itu dengan jong," terang sutradara muda ini. 


Karena gap budaya yang kadung merentang jarak yang cukup jauh, membuat ritual ini mengundang minat pengunjung untuk memperpendek jarak tersebut. Kepala Disdikbud Tanjungpinang, HZ Dadang AG pun tak kalah antusias dengan melongok lebih dekat dan bahkan diberi kehormatan melarung jong itu di perairan Ocean Corner. 

Kemudian, untuk mengendurkan urat-syaraf yang kadung menegang lantaran talu-talu musik ritus, Yoan mengomposisikan suguhannya malam kemarin dengan moncer. Di antaranya dengan menghadirkan tradisi celoteh yang mengocok seantero ratusan pengunjung yang memadati Ocean Corner. Karena Yoan sadar tak baik bila urat syaraf mengendur, Yoan kembali menegangkannya. Kali ini, anak asuh Yoan dari perguruan silat Teratai Merah yang unjuk kebolehan. 

Anak-anak muda yang rata-rata masih duduk di bangku menengah atas dan semestar awal perkuliahan memulai dengan permainan tradisi 'buluh gile' atau yang akrba di lidah dengan bambu gila. Beberapa penonton pun diminta membantu menenangkan bambu yang konon sudah dirasuki tenaga gaib, sehingga bergoyangan tak tentu arah. Kemudian, degup jantung kian kencang setelah Dadang diminta memilih sebiji pelor senapan angin. Sedangkan seorang penonton dapat jatah untuk menembak. Menembak burung? Bukan. Namun, menembak balon dan kemudian pelor itu ditangkakp dengan mulut oleh pesilat yang siaga di balik balon.

Dor! Pesilat yang sebelumnya siaga terpelanting. Air wajah kepala dinas pucat pasi. Sedangkan Yoan, yang sebelumnya berdiri di atas panggung, lekas menghampiri anak asuhnya yang masih tergeletak. Seluruh penonton bangkit dari duduknya. Senyap, tanpa sebisik suara. Hingga tiba-tiba pesilat yang sebelumnya tergeletak itu berakrobat dan menunjukkan pelor dari sela giginya. Tepuk tangan pun bergemuruh. 

Sedangkan atraksi selanjutnya, membuat banyak penonton membalikkan muka. Kala pesilat yang gagal memecahkan botol dengan sekali pukul harus menerima sayatan sebilah parang di dada, perut, punggung, lidah, hingga telinga mereka. Kemudian, pesilat itu juga diharuskan berjalan di atas tumpukan beling. Bahkan sambil berloncat. Pecahan kaca itu berdenting tergesek kaki. Tapi, tak setetes pun darah mengalir dari kaki tanpa alas itu. Sedangkan ketika bermain api, pesilat bukan hanya beratraksi sembur api saja. Melainkan juga membiarkan ruas-ruas kulit di lengan dan badan mereka dijilat lidah api. Mereka tak mengaduh apalagi menjerit. 

Meski bertajuk ritual kesenian, tak lantas membuat kesenian melantunkan syair yang dipadukan hikayat terabaikan. Untuk menyiasati itu, Yoan mencerabut bunian dari khayali manusia. Di tangan Yoan, bunian dialihwujudkan dalam hikayat, syair, dan puisi. Mulai dari kisah bunian yang menculik bocah yang bermain di petang hari, hingga bunian yang diteatrikalkan lewat gerak. Pada mulanya, banyak penonton yang tak memungkiri jantung mereka berdegup kencang kala undangan makhluk lain alam itu dipekikkan lewat mantra dan dupa, tapi tetap saja tangan bertepuk di akhirannya. 

Senarai ritual kesenian Melayu malam itu, Yoan tutup dengan ritual Mayang Berambe. Ini merupakan ritus tentang proses pengobatan tradisional yang menggunakan bantuan Ulek Mayang. Sosok dewi langit itu dipanggil tidak sekadar dupa dan mantra saja. Melainkan juga lewat igal empat penari bertopeng. Satu pesilat pun sempat tak sadarkan diri kala putik-putik mayang kelapa ditaburkan di pentas. Ia berguling-guling. Mengaum. Bahkan memakan ayam hidup-hidup. Pertunjukan ini tak saja membuat penonton terbengong, tapi juga buat sebagian anak kecil langsung bersembunyi di balik ketiak ibunya. 

Praktisi kebudayaan Tanjungpinang, Rendra Setyadiharja mengatakan, ketaktahuan penonton akan akar budayanya sendiri yang membikin ritual sarat kearifan lokal ini jadi tersisih. "Pementasan ini mengingatkan kita semua akan ritual tradisi yang sudah lama terlupakan," kata pria yang berporfesi sebagai dosen ini. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar