Generasi pertama PLS Sanggam membawakan tari Tandak Lemang, yang menjuarai parade tari Provinsi Riau tahun 1999 silam, di Gedung Kesenian Aisyah Sulaiman, Senin (26/5). F/Yusnadi. |
Perjalanan laut dari Pekanbaru ke Tanjungpinang tahun 1999 silam, takkan lekang dari ingatan Pepy Candra. Bukan karena tari Tandak Lemang-nya menyabet terbaik pertama parade tari tingkat provinsi. Melainkan, lantaran pembuktikan seni yang diteraju tulus dengan air mata, cinta, dan tawa itu bisa membungkam represi.
FATIH MUFTIH, Tanjungpinang.
Saat Kepulauan Riau masih terbuhul sebagai kabupaten dalam naungan Provinsi Riau, secara tak langsung menasbihkan Pekanbaru sebagai episentrum pentas kesenian. Tiap kabupaten diminta mengirimkan sanggar tari terbaiknya untuk unjuk kebolehan pada ajang parade tari. Bupati Kabupaten Kepulauan Riau saat itu hanya sanggup mengirimkan satu kelompok utusan saja. Namun, Pepy Candra tak patah arang. Ditemani suaminya, Husnizar Hood, ia memperjuangkan kelompok tari PLS Sanggam untuk ambil bagian pada ajang tari bergengsi itu.
Perjuangan suami-istri itu lantas meluluhkan hati Suryatati A. Manan, Wali Kota Administratif Tanjungpinang kala itu. Uang sebesar Rp 3 juta lantas Suryatati ulurkan dengan keringat dingin. Apatah tidak, bantuan itu secara tak langsung melawan represi penguasa di atasnya, yang hanya ingin mengirimkan satu kelompok tari saja.
Hasilnya di melampau harapan. Bukan sekadar memeriahkan, tari Tandak Lemang kreasi Pepy Candra justru menyihir Pekanbaru. Gerakan kayang penari perempuannya memukau dewan juri. Tari tradisi asal Tanjungpisau itu menasbihkan PLS Sanggam sebagai terbaik pertama parade tari tingkat Provinsi Riau tahun 1999 silam.
Sontak saja keberasilan PLS Sanggam ini mencoreng arang ke wajah bupati. PLS Sanggam jadi buah bibir. Tapi, oleh bupati, Suryatati justru dicibir. "Biasalah, cuma kena omel-omel sikit," ungkap Suryatati.
Kisah belasan tahun lalu itu diumbar-umbar ke khalayak undangan yang memenuhi Gedung Kesenian Aisyah Sulaiman, pada perayaan 17 tahun PLS Sanggam, Senin (26/5) malam kemarin. Itulah titik mula sanggar seni yang didirikan Husnizar Hood, Pepy Candra, alm. Abu Anwar, Liesminidiningsih, dan Arlis Gazali menoreh prestasi di kancah tari. Hingga akhirnya serupa aliran air. Trofi demi trofi menjadi penghias lemari sanggar yang beralamatkan di Jalan Seijang itu. Bahkan, bukan hanya manggung dari kota ke kota, tapi juga mengelilingi dunia. Mulai dari Malaysia, Singapura, Perancis, Belanda, hingga Italia.
Rentang 17 tahun bukan waktu yang sekelebat mata bagi sebuah sanggar tari. Baik Husnizar dan Pepy menyadari itu. Ada berjuta-juta kisah berkelindan dan amat sukar bila mesti diurai helai demi helai. Termasuk soal pemilihan nama sanggar yang banyak melahirkan seniman ini. Husnizar perlu mengerutkan keningnya untuk mengingat peristiwa 17 tahun silam itu. "Bang Arlis mengusulkan suluh. Kalau tak salah, aku mengusulkan Jebat," ucap Husnizar. Pencarian nama menjadi perjuangan tersendiri. Setelah para pendiri menyapakati hanya akan menggunakan satu kata saja.
Usulan Jebat yang dilontarkan Husnizar kalah mentereng ketimbang Sanggam yang diajukan Abu Anwar. Sanggam yang dalam tata bahasa Melayu Klasik berarti gagah, elok, anggung, wibawa itu keluar menjadi pakta bersama. "Apalagi alasan Bang Abu, karena kata sanggam itu tertulis di Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji," kenang Husnizar.
Setelah menentukan nama, penentuan visi menjadi pemikiran selanjutnya. Husnizar tak ingin Sanggam sekadar jadi wadah para penari. "Apalagi aku bukan penari," kelakarnya. Sehingga, untuk melebarkan konstelasi seni yang bisa dicapai dan diteraju, Husnizar pun mengubahnya menjadi pusat latihan seni. "Jadi bisa menjadi wadah sastrawan dan pemusik," jelas Husnizar.
Di usia ke-17, mimpi-mimpi kecil itu mewujud nyata. PLS Sanggam menetaskan banyak penari, pemusik, dan sastrawan yang kini sudah punya nama. Bahkan, hingga lima generasi penari. Beberapa penari dari generasi pertama juga turut dihadirkan pada malam perayaan kemarin. Bahkan, mereka diminta melangenkan igal Tandak Lemang 14 tahun lalu di atas panggung gedung kesenian.
Tak pelak, ini mengundang gelak tawa undangan. Dan yang paling tergelak adalah Pepy Candra. Betapa tidak, saat tiba di gerakan kayang, hanya ada satu penari saja yang berhasil melakukannya. Sedangkan empat penari lainnya mengeluhkan kelenturan pinggangnya yang tak selihai dulu. "Dulu saya juga harus kayang begitu. Tapi sekarang mana kuat lagi," tutur Pepy tanpa bisa menahan tawa.
Tawa punya arti penting di balik 17 tahun eksistensi PLS Sanggam. Suhardi, binaan pertama Sanggam, amat menyadari itu. Ia menyebut PLS Sanggam bukan sekadar sanggar. "Walau bersampingan dengan rumah Bang Nizar dan Kak Pepy, Sanggam itu punya kami, rumah kami," ujarnya. Bila ditanya apa arti Sanggam baginya, pria plontos ini mengaku susah menemukan kata lain. "Sanggam itu rumah sekaligus keluarga," katanya.
Aktivitas-aktivitas awal berlatih di PLS Sanggam belasan tahun lalu, masih terekam jelas di ingatan Suhardi. Setiap hari, tuturnya, tidak ada hari yang terlewat tanpa diskusi seni. Mulai dari bangun tidur, makan bersama, hingga tengah malam. Obrolan tentang seni diselingi tawa menjadi rutinitas sehari-hari. "Suasana semacam itu yang jadi pemicu kreatifitas kami," aku Husnizar.
Air mata pun tak sedikit yang tumpah di laman sederhana itu. Represi penguasa sempat menyiutkan hati Pepy Candra. Trenyuh kala tak seorang pun yang hendak meresmikan sepetak sanggar kecil ini 25 Mei 1997 silam masih Pepy rekam jelas-jelas di kepalanya. "Akhirnya Kapolres Rizal Zein saat itu yang akhirnya berkenan meresmikan sanggar kami. Mungkin, kami satu-satunya sanggar yang diresmikan polisi," ucap Pepy haru.
Namun, pencapaian Sanggam hari ini membancuh trenyuh hati Pepy. Sehingga, di usianya yang sudah kepala empat, tak selangkah pun Pepy hendak menarik jarak dari dunia yang sudah membesarkan namanya. Kini, ada lebih dari 70 anggota aktif PLS Sanggam dari segala jenjang usia. Sejoli suami-istri ini tetap bertekad melangsungkan Sanggam hingga angka-angka usia tak lagi sanggup mengejarnya. "Selama masih ada yang mau datang berlatih di rumah, di situlah Sanggam tetap melanggam," tegas Husnizar.
Karena Husnizar sudah menulis di ponsel Blackberry-nya, "17 tahun lalu kami kami mendirikan laman bermain ini, sesungguhnya untuk menjaga agar negeri ini lebih berbudaya." Tahniah Sanggam!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar