Rabu, 28 Mei 2014

Dari Temu Redaktur Kebudayaan (TRK) se-Indonesia 2014, di Siak Sri Indrapura

Peserta Temu Redaktur Kebudayaan Nasional berfoto
di halaman Istana Siak, Selasa (20/5). F/Yul
Cetuskan Petisi Siak, Tuntut Pengesahan UU Kebudayaan

Puluhan redaktur kebudayaan dari Aceh hingga Papua dikumpulkan di Siak Sri Indrapura, Riau 20-22 Mei lalu. Bukan sekadar ajang tukar wacana, tapi juga untuk menyatukan suara, ihwal kebudayaan yang, kata Dedy "Miing" Gumelar, sudah seperti krupuk. 

FATIH MUFTIH, Siak.

Pertemuan redaktur kebudayaan dari seluruh penjuru nusantara di Siak Sri Indrapura pertengahan pekan lalu adalah kali ketiga diadakan. Namun, inilah kali pertama ajang temu diskusi ini ditaja di luar Jakarta. Tentunya, ada alasan khusus di balik pemilihan kabupaten yang diresmikan sejak 1999 silam ini sebagai tuan rumah. Dalam pengantar panitia dituliskan, agar para redaktur kebudayaan bisa secara sepesifik memahami peran dan sumbangan kebudayaan Siak (utamanya pada masa lalu) pada kebudayaan bangsa Indonesia. Hal ini kemudian dinyatakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, selaku peneraju gawai, dengan mengajak puluhan redaktur kebudayaan melihat lebih dekat situs-situs sejarah Siak di Istana Siak. 

Namun, mari terlebih dahulu melipir ke pembicaraan lain. Sebuah pembicaraan penting yang menjadi pijakan dasar penajaan kegiatan rutin tahunan PWI bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) ini. Yakni, tentang keberadaan kebudayaan negeri ini yang mulai tersisihkan. Tidak hanya pada tataran implementasi di tengah masyarakat, melainkan juga sudah menjangkiti halaman-halaman surat kabar yang menyediakan laman kebudayaan. 

Seperti yang dilontarkan Soni Farid Maulana, redaktur kebudayaan dari Pikiran Rakyat. Redaktur yang juga seorang penulis puisi ini mengeluhkan keadaan dewasa ini, ketika halaman kebudayaan kerap disisihkan ketika berondongan iklan komersil lebih dipriositaskan. Pada sesi diskusi yang digelar di Balai Adat Lembaga Adat Melayu (LAM) Siak itu, Soni terlihat sebagai redaktur yang paling "resah". Berulang kali ia mengangkat tangan ketika tiba sesi tanya-jawab. "Seharusnya turut diundang pula para pemilik modal pada acara-acara semacam ini," lontar Soni kepada narasumber. 


Anggota Komisi X DPR-RI, Tubagus Dedi Suwendi Gumelar, memaklumi keluhan Soni. Pria yang populer dengan panggilan Miing ini menyebutkan, sudah terjadi penyimpangan dan pengesampingan terang-terangan kebudayaan dari sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Tatanan kebudayan, kata dia, sering lepas dari pengambilan kebijakan terkait. Oleh karenanya, masyarakat dibuat tak punya banyak pilihan. "Kebudayaan kita sekarang ini seperti krupuk ketika makan. Ada atau tidak, kita tetap makan," katanya beranalogi. Karena kebudayaan dipandang dengan pola 'krupuk', lanjutnya, membuat manusia tetap melanjutkan kehidupannya dengan atau tanpa kebudayaan. 

Untuk itu, pelbagai upaya disorongkan guna menangkis distorsi mental semacam ini. Miing di komisi X DPR-RI sudah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan. Bahkan, sudah diajukan sejak dua tahun lalu. Namun, pria kelahiran Lebak, Banten ini tak mengerti alasan dibalik penundaan paripurna UU tersebut. Sehingga, kepada puluhan redaktur kebudayaan se-Nusantara yang hadir duduk di hadapannya, Miing mengajak sama-sama pasang mata untuk mengawal RUU Kebudayaan. "Kalau perlu mendesak pemerintah segera mengesahkannya," ucap Miing lugas. 

RUU Kebudayaan perlu didesak. Bukan sekadar dikawal semata. Pasalnya, kata Miing, bila tak kunjung disahkan dalam beberapa bulan ke depan atau hingga pergantian anggota dewan, maka RUU itu mental. Kembali ke awal. "Semuanya akan jadi kerja sia-sia dan ngabisin duit aja," ucap Miing. Lewat sumbangsih peran redaktur kebudayaan yang menulis di panji medianya masing-masing, dirasa Miing sebagai gebrakan sensasional. "Kita buat semua orang jadi tahu bahwa ada RUU Kebudayaan yang gantung dan tak kunjung diparipurnakan. Padahal undang-undang ini akan jadi semacam acuan kerangka kerja-kerja kebudayaan ke depannya," katanya berapi-api. 

Salah satu butir yang disebutkan dalam RUU Kebudayaan tersebut adalah dengan menggesa pemerintah memandirikan lembaga tersendiri yang mengurusi kebudayaan. "Dalam hal ini, kita butuh Kementrian Kebudayaan yang mandiri dan tidak bergabung dengan bidang-bidang lainnya," ujar Miing. Bila benar sedemikian, lanjutnya, maka akan ada alokasi dana yang lebih besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tiap tahunnya untuk gawai-gawai kebudayaan. Karena selama ini, Miing paling getol mengkritisi dana minor yang dialokasikan untuk pembangunan kebudayaan di republik ini. "Padahal antara pendidikan dan kebudayaan itu kan dipisahkan kata 'dan', jadi seharusnya dapat porsi yang sama. Tapi, ini tidak. Sangat timpang," sebutnya. 

Sementara pembicara lain, Putu Fajar Arcana, menyikapi persoalan redaktur kebudayaan dengan pilihan perjuangan yang paling memungkinkan dilakukan, yang dirumuskannya menjadi satu kalimat padat. "Perjuangan redaktur kebudayaan bukan sekadar merebut halaman atau ruang, tapi merebut kebebasan dalam berpikir," ucap Redaktur Kebudayaan Kompas ini. Putu menambahkan, penyiasatan itu bisa dilakukan dengan menulis dan menyusun reportase yang disisipi ideologi kebudayaan. Lantas Putu mencontohkan dengan sebuah rubrik gaya hidup yang ada di Kompas. "Itu sebenarnya hanya tentang gaya hidup manusia modern, tapi bisa juga dimasukkan reportase tentang penari Lengger," ucapnya. Bila sang wartawan itu punya ideologi kebudayaan yang kuat, kata Putu, segala jenis reportase yang semula sederhana bisa diolah dan menjadi liputan sarat kebudayaan. "Jadi, bila memang harus diurut, wartawan kebudayaan bisa dianggap sebagai wartawan nomor satu," tegas Putu. 

Budayawan Riau, Al Azhar mengamini pernyataan Putu. Ia menambahkan, jurnalisme kebudayaan punya semacam jembatan untuk memulihkan krisis budaya bangsa ini. "Karena jurnalisme kebudayaan itu menggabungkan tiga unsur, yakni reportase, etnofgrafi, dan elemen-elemen karya fiksi," ucapnya. 

Di penghujung diskusi, Sekretaris Jenderal PWI Pusat, Henry CH Bangun hanya mengingatkan, bahwa redaktur kebudayaan punya tanggung jawab besar, selaku pemegang kemudi informasi kebudayaan, atas keberlangsungan kehidupan berbudaya bangsa ini. Menurutnya, apa artinya ketersediaan halaman kebudayaan di tiap-tiap media bila tak mampu menjaga mutu kualitasnya. 

Puncak dari pertemuan yang berlangsung selama tiga hari ini kemudian membentuk satu rumusan kesepakatan yang diberi nama Petisi Siak 2014. Di situ, dinyatakan para peserta TRK III 2014 mendesak DPR-RI dan pemerintah segera mengesahkan UU Kebudayaan. Selain itu, supaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan, yang termasuk di dalamnya industri kebudayaan (ekonomi kreatif), maka sudah saatnya kebudayaan dikelola oleh kementerian tersendiri, yaitu Kementerian Kebudayaan. 

Bila menelisik lebih jauh lagi, sebenarnya petisi ini sudah selaras dengan konsepsi kebudayaan yang dinyatakan Dirjen Kebudayaan, Kacung Marijan pada malam pembukaan TRK III. Menurut profesor asal Lamongan ini, kemajuan suatu bangsa ditentukan juga oleh kebudayaannya. Kebudayaan sudah seharusnya ditempatkan dalam posisi luhur. Bukan sebagai obyek, tapi subyek pembangunan. "Kalau ingin melihat Indonesia yang bagus, ya harus melihat way of thinking-nya dulu," ujarnya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar