Suasana pelatihan tiga hari mengapresiasi sastra di Bintan Agro, Selasa (15/4). F/Fatih. |
Yang berbahagia ketika pelaksanaan ujian nasional (UN), awal pekan lalu, adalah siswa kelas sepuluh dan sebelas. Mereka diliburkan selama tiga hari. Dan yang lebih berbahagia adalah mereka yang berkesempatan berlatih menulis sastra di resor Bintan Agro.
FATIH MUFTIH, Bintan.
Siapa yang tidak suka, bila mengisi liburan panjang dengan menginap di resor Bintan Agro selama dua malam. Apa lagi, tidak dipungut biaya sepeser pun. Syaratnya, mudah saja. Selama menginap di sana, 40 siswa dari Tanjungpinang ini hanya diwajibkan menulis karya sastra, boleh puisi maupun cerita pendek. Maka, banyak senyum yang mengembang dari raut muka kala pelatihan bertajuk "3 Hari Mengapresiasi Sastra" yang ditaja Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kebudayaan dari Jakarta itu dimulai.
Selain mendapatkan fasilitas menginap, mereka juga diberikan kaus putih bersablonkan sajak Rendra, tas selempang, dan ditambah lagi modul-modul kepenulisan. Puslitbang Kebudayaan, selaku penaja, memang sengaja mendatangi negeri segantang lada ini. "Di sini, siswa-siswanya punya potensi besar untuk menulis karya sastra," kata Lukman Solihin, staf Puslitbang. Sehingga, Puslitbang menaruh harapan besar siswa-siswa di sini, dapat menulis dan mengapresiasi sastra secara baik. "Apalagi pahlawan nasional di bidang bahasa, Raja Ali Haji, kan berasal dari sini," lanjutnya.
Selama tiga hari, keempat puluh siswa dan 10 guru pendamping dari 10 sekolah memenuhi aula Zeus di lantai dua. Di sana, mereka dihadapkan pada pemateri-pemateri yang berbicara ihwal apresiasi sastra. Dari lima pemateri yang didatangkan, hanya satu yang dibawa dari Jakarta. Yakni, Bambang Widiatmoko, penyair sekaligus Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Sedangkan empat sisanya adalah pemateri lokal. Lukman menilai, pemateri lokal lebih banyak mengenal kondisi kekinian sastra di daerah. "Mereka lebih tahu dan lebih dekat dengan peserta," ujarnya.
Pada hari pertama, adalah Raja Suzanna Fitri dan Muharroni, yang berkesempatan memberikan materi. Dua dosen Umrah Tanjungpinang ini, berbicara panjang lebar ihwal membaca dan mengapresiasi sastra. Hal ini dirasa penting. Pasalnya, sebagaimana yang dipaparkan Muharroni, tidak didapat apa-apa ketika membaca karya sastra tanpa sebuah apresiasi. "Karena membaca karya sastra dan membaca koran itu berbeda," terang pria yang akrab disapa Roni ini. Minat baca yang kurang, lanjutnya, merupakan kendala besar mengapresiasi karya sastra.
Berbarengan dengan Roni, Suzanna dalam esainya, menyatakan bahwasanya membaca sastra, tak ubahnya sebuah bentuk seni. "Seperti seni lukis, tari, musik. Sehingga bisa dipelajari," tulis dosen berjilbab ini.
Selama pemaparan materi ini, banyak siswa mengangkat tangan lalu melontarkan pertanyaan. Rata-rata siswa mengakui, karya sastra dapat dikatakan sebagai hiburan alternatif. Menurut mereka, masih banyak hiburan-hiburan berbasis teknologi yang lebih menghibur, ketimbang duduk melangut waktu dengan membaca. "Kadang, nggak ngerti juga kalau baca karya sastra," kata seorang siswa.
Menginjak di hari kedua, Selasa (15/4), acara dimulai lebih pagi, sejak pukul 08.00 WIB. Ada tiga pembicara pada sesi ini. Termin pertama menghadirkan Bambang Widiatmoko dan Heru Untung Leksono. Latar belakang kedua pria ini sebagai sastrawan, mendaulat mereka membagikan kiat maupun cara menulis karya sastra. Bambang menjelaskan puisi. Sedangkan Heru menerangkan cerpen.
Tentang puisi, Bambang menerangkan, penyair atau pun penulis tidak boleh terjebak pada definisi. "Kita tidak harus menanyakan puisi itu apa," ujar Bambang kepada puluhan siswa. Menurutnya, yang perlu dilakukan setiap siswa yang hendak menulis puisi, hanya satu. "Ya ambil penamu dan mulai menulis," tegas Bambang. Hal senada diungkapkan Heru. Menurut penyair yang bermastautin di Tanjungpinang ini, ketika hendak mulai menulis cerpen, sebisa mungkin penulis melepaskan diri dari teori-teori sastra. "Tidak usah dipikir dulu plot itu apa, alur itu apa, tapi jadikan dulu tulisan itu," ujarnya. Setelah tulisan itu rampung, sambung Heru, baru penulis mulai memikirkan aplikasi teori sastra pada karyanya.
Pada sesi ini, peserta dengan kisaran usia 16-18 tahun, banyak terjebak pada pertanyaan klasik; puisi dan cerpen seperti apa yang dikatakan bagus itu? Mendengar banyak pertanyaan terlontar terkait ini, Heru menjawab, karya sastra yang dekat dengan penulisnya. "Setiap pengalaman yang berasal dari pengalaman pribadi penulisnya, biasanya bagus," ujarnya, seraya menyebut cerpen-cerpennya, yang berdasarkan kisah nyata.
Lantas, setelah segala teori-teori dan unsur-unsur pembentuk karya sastra diketahui, apa langkah selanjutnya? Mempublikasikannya. Untuk itu, pada termin selanjutnya, wartawan koran ini berkesempatan membagikan kiat-kiat karya sastra yang layak dipublikasi. Umumnya, ada dua medium publikasi karya sastra. Buku dan media massa.
Sontak, puluhan peserta itu kian antusias ketika dipaparkan data-data faktual, bahwasanya menulis karya sastra yang dipublikasikan dapat menambah pundi-pundi penghasilan. Bisa jadi semacam JK. Rowling lewat novel Harry Potter atau Andera Hirata lewat novel Laskar Pelangi. Kesemua itu menjadi mungkin, selama karya sastra yang ditulis benar-benar berkualitas dan memiliki daya saing alias daya serap pasar.
Tiba di tengah hari, pemaparan materi disuraikan. Seusai menyantap hidangan siang, puluhan siswa berpencar ke segala penjuru resor. Ada yang berkelompok barang tiga-empat. Tapi, bertabur pula yang duduk seorang diri. Tidak banyak yang terlontar dari mulut mereka. Terlihat, kening mereka berkerut. Ada pula yang manggut-manggut. Semua hibuk dengan isi kepalanya masing-masing. Pasalnya, hingga pukul empat sore, seluruh siswa diwajibkan merampungkan satu karya sastranya. Boleh dalam bentuk puisi maupun cerpen.
Seperti Rika Nursari, yang sedang duduk di tepi beranda halaman belakang resor. Tidak ada laptop atau tablet, seperti yang dipangku beberapa temannya di sudut lain. Di atas paha siswi SMAN 6 Tanjungpinang ini, hanya ada sehelai kertas putih dan satu pena tinta hitam. Ada beberapa kalimat tergores. Beberapa di antaranya dicoret-coret. "Kalau teman yang lain buat cerpen, saya buat puisi aja," kata Rika yang enggan menyebutkan judul puisi yang sedang dituliskannya.
Lukman menyebutkan, seluruh karya sastra siswa-siswa tersebut akan diseleksi oleh pemateri. "Beberapa yang terpilih akan kami terbitkan dalam antologi," jelasnya. Lukman menilai, perbitan antologi ini bisa jadi secamam stimulan daya greget siswa untuk tetap menulis dan lebih percaya diri mempublikasikan karya mereka. Begitu juga harapan Bambang. "Agar kata-kata Rendra itu tidak sekadar menempel di kaus mereka saja," ucapnya. Karena kata WS Rendra, kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar