Wakil Bupati Bintan, Khazalik. F/Ririn. |
Dari Berjualan Daun Pisang, Hingga Terusir dari Barisan Parade
"Bercita-cita jadi wakil bupati? Membayangkan bisa lanjut sekolah saja tak berani," ungkap Wakil Bupati Bintan, Khazalik, ketika ditemui Batam Pos di beranda rumahnya, usai menunaikan salat tarawih, Sabtu (28/6) lalu.
FATIH MUFTIH, Bintan.
Khazalik seketika menarik kursi lipat di beranda rumahnya. Tempat ini bukan hanya digunakan sekadar untuk bersantai, tetapi juga merupakan tempat Khazalik bermain domino dengan rekan atau sanak saudara yang mengunjungi kediamannya.
Angin malam pertama Ramadan berembus kencang. Sementara untuk mengusir dingin yang mulai merajam kulit di balik kemeja koko putihnya, Khazalik menyesap secangkir kopi hitam yang tersaji di atas meja. Kemudian memantik sebatang sigaret putih favoritnya.
Menjadi wakil bupati, kata Khazalik, tak pernah benar-benar terlintas di kepalanya. Bagaimana tidak, tentu itu semacam si pungguk merindukan bulan baginya, kala itu. Karena semasa kecil, pria kelahiran Tarempa ini mesti berjualan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. "Bisa membayangkan melanjutkan sekolah saja sudah hebat," ujarnya.
Satu yang paling berkesan dari sosok bapak tiga anak ini bukan karena ketampanannya yang menyerupai Dahlan Iskan. Melainkan, suaranya yang serak, sehingga terkesan kian menambah kewibawaannya kala bertutur. Dengan suara karismatik itu pula ia kemudian menuturkan masa kecilnya di Kampung Antang, Tarempa puluhan tahun silam.
Khazalik kecil adalah seorang pekerja keras. Itu dibuktikannya dengan menempuh perjalanan jalan kaki selama 1,5 jam dari rumah ke sekolahnya. Bila melalui jalan aspal yang mulus, tentu itu bukan perkara. "Jalannya lewat hutan. Licin. Ada lubang besar-besar menganga. Kalau jatuh ke situ, tak ada orang yang akan tahu," tuturnya seraya tertawa.
Derap-derap langkah Khazalik kecil itu yang kemudian membentuk wataknya. Pria kelahiran 11 Agustus 1963 ini tak kenal menyerah. Karena menyerah benar-benar tak pernah ada dalam kamus hidupnya. Sepulang dari sekolah, Khazalik kecil tak lantas istirahat. Karena istirahat siang adalah fasilitas mewah yang tak pernah dipunyanya. Usai berganti seragam, kebun adalah tujuan selanjutnya. "Sore harinya saya mesti mengambil daun ubi, daun pisang, untuk dijual di pasar Tarempa. Baru sepulang sekolah, saya ambil uangnya," kenang Khazalik.
Pundi-pundi rupiah yang terkumpul dari berjualan sayur-sayuran ini yang kemudian ditabung. Khazalik kecil sadar, ia tak boleh bergantung kepada orang lain. Kehidupannya berada di kedua tangannya. Sehingga, baju, buku, dan sepatu, harus dipenuhinya dari hasil tabungannya itu.
Putung rokok Khazalik tandas di asbak. Pandangannya menerawang. Seperti ada jejalin kenangan yang seketika berkelindan di benaknya. "Oh iya," cetusnya antusias, "saya tak ingin anak-anak Bintan mengalami pengalaman seperti saya ini."
Pengalaman yang Khazalik maksud adalah ketika ia mesti terusir dari parade barisan perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Saat itu, sudah dari jauh-jauh hari, Khazalik muda sudah berlatih disiplin baris-berbaris. Namun, dua hari menjelang hari pementasan, mendadak nama Khazalik muda tak disebut. "Kata teman-teman, nama saya dicoret karena saya tak punya seragam," kenang Khazalik.
Konon, lanjutnya, itu adalah kegetiran yang tak terlupakan olehnya. Apatah tidak, sebenarnya ia sudah punya seragam putih-putih yang diminta guru dan pelatihnya. Hanya saja, Khazalik muda tak berani memakainya. "Karena takut kotor dan rusak. Saya hanya bisa beli sepasang," tutur Khazalik.
Untuk mengubur dalam-dalam kegetiran yang menyesak di dada, Khazalik muda pun tak pernah menanyakan nama guru yang mencoret namanya. "Kalau saya tahu, bisa dendam sampai hari ini. Saat itu, saya komitmen tak mau cari tahu nama guru itu," ujarnya.
Perjalanan kehidupan yang, oleh Khazalik, disebut lika-liku itu belum selesai. Lulus dari pendidikan menengah atas, urusan ekonomi kembali menghantamnya. Biaya kuliah bukan sedikit. Apalagi mengingat ongkos transportasi dari Tarempa. Tapi, Khazalik muda percaya, ada kekuatan besar yang mengendalikan alam semesta ini. "Apa yang tak mungkin, jadi terasa sangat mungkin," tegas mantan Sekcam Karimun ini.
Datang tawaran pada Khazalik muda untuk mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (sekarang IPDN). Lantas, apa alasan Khazalik muda memilih melanjutkan pendidikan di APDN yang terkenal kedisiplinannya itu? "Simpel saja. Karena itu kuliah yang gratis," ujarnya seraya tertawa. Bila boleh memilih, saat itu ia tentu ingin melanjutkan ke perguruan tinggi reguler. Tapi, kehidupan saat itu membuat Khazalik muda tak bisa banyak memilih.
Namun, ketaksanggupan memilih ini yang justru menjadi pintu masuk Khazalik ke dunia pemerintahan. Puncaknya 2010 silam, ketika suami Nursaadah ini dilirik Bupati Bintan, Ansar Ahmad untuk menjadi pendampingnya. Apa penyebabnya? (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar