Jumat, 15 Agustus 2014

Mahmud Sukirno, Penerima Penghargaan Kalpataru 2014 Kategori Perintis Lingkungan (1)

Mahmud Sukirno menunjukkan piagam dan trofi Kalpataru
kategori Perintis Lingkungan 2014, Senin (9/6). F/Fatih
Cinta Tumbuhan Sejak Kecil, Tetap Tinggali Rumah Berdinding Kayu

"Kalau orientasinya bisnis, mungkin rumah saya udah tingkat banyak," kata Mahmud Sukirno, penerima Penghargaan Kalpataru 2014 kategori Perintis Lingkungan.

FATIH MUFTIH, Bintan.

Dalam melakoni hidup, Sukirno, begitu lelaki murah senyum ini akrab disapa, menjadikan tumbuhan sebagai dunianya. Ia menjalani laku hidup dunia hijau-hijauan ini dengan segenap cinta. Meski sudah bisa menghasilkan lebih dari 200.000 bibit setiap tahunnya, Sukirno enggan jemawa. Suami Supinah ini masih tetap betah dan ajek meninggali rumah kuna berdinding kayu bersama dua anaknya. "Saya memang nggak mau mengubahnya, karena menghargai rancangan orang tua," ucapnya. 

Di sekitar tempat tinggal sederhana itulah Sukirno menumbuhkembangkan kecintaannya terhadap dunia tumbuhan. Ketika Batam Pos berkunjung ke rumahnya di RT 4 RW 2 Kampung Kangboi Desa Toapaya Utara, Senin (9/6) siang kemarin, terlihat beberapa warga tengah membenahi beberapa bibit tanaman yang hendak dikirim. 


Sukirno menyebutkan, saat ini ada 11 tetangganya yang turut membantunya menekuni dunia tumbuhan. Bahkan, sudah ada yang bekerja selama tujuh tahun. "Saya tak mengharuskan mereka bekerja seperti datang jam sekian dan pulang jam sekian," ungkapnya. Akan tetap, lanjutnya, pekerjaan itu harus saling isi dan saling mengerti. "Agar nggak ada saling iri satu sama lain," ujarnya. 

Sehingga, setelah menekuni dunia tumbuhan selama kurang lebih 17 tahun, cinta Sukirno terhadap tumbuhan mulai berbunga. Selain bisa menyuplai kebutuhan sebanyak 200.000 bibit pertahunnya, Sukirno juga didaulat menerima penghargaan Kalpataru 2014 kategori Perintis Lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup, di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (5/6), yang dipimpin langsung oleh Wakil Presiden Boediono.

Oleh tim penilai, Sukirno dirasa layak membawa pulang penghargaan ini dikarenakan upayanya menghijaukan Bintan yang semula hanya lahan-lahan gersang pascapenambangan. Tak hanya itu saja. Keberadaan kegiatan pembibitan di lingkungannya, juga memberikan manfaat bagi warga sekitarnya. Kelompok ibu-ibu rumah tangga di sekitarnya turut diajak berpartisipasi. Dalam tiga bulan sekali, ibu-ibu yang sebelumnya hanya menganggur di rumah, kini sudah bisa mendapatkan uang sampingan dari kerja pembibitan. "Tiga bulan sekali ada 25.000 bibit dengan keuntungan Rp 1.000 perak tiap bibitnya," jelas Sukirno. Bila dikalikan, nominalnya mencapai Rp 25 juta. Ini tentu suatu kegiatan yang lebih baik ketimbang menganggur sepanjang hari. 

Sukirno tak memungkiri, pada mulanya, dirinya juga sempat kesulitan mengajak warga sekitar untuk turut ambil bagian, menekuni dunia yang digeluti sekaligus dicintainya itu. "Harus pelan-pelan," kata dia. Untuk itu, Sukirno pun pada mulanya tak segan-segan memberikan bibit cuma-cuma kepada warga. Ada beberapa yang sadar ini menghasilkan. Tak sedikit yang sangsi dengan tawaran Sukirno. "Tapi sekarang setelah tahu hasilnya sebanyak itu, justru banyak yang bertanya," kata Sukirno seraya tertawa. 

Itu sebuah tawa yang seketika memulangkan ingatan Pria asal Semarang ini pada awal mula menekuni dunia tumbuhan. Ia mengaku sudah menggandrungi dunia tumbuhan ini sejak kecil. Adalah bapaknya yang menularkan kecintaan Sukirno muda. "Bapak saya di Semarang seorang petani dan suka memotivasi masyarakat untuk hidup bertani," kenangnya. Bermula dari situ, meski telah melintasi ribuan kilometer dari kampung halamannya, tak membuat Sukirno meninggalkan kecintaannya pada dunia tumbuhan. 

Sejak 1995 silam, Sukirno muda sudah menapakkan kakinya di Kepulauan Riau. Saat itu ia tinggal di Batam bersama pamannya untuk bekerja serabutan. Namun, sebagaimana lelaki Jawa yang kurang berkenan merepotkan keluarganya, Sukirno lantas memilih meninggalkan Batam menuju Bintan. Tepat di tahun 1997 ia diterima bekerja secara kontrak di kawasan wisata Lagoi. "Saya mau karena saya bisa memilih kerja di sektor lansekap. Sesuai dengan minat saya," ucapnya. 

Lagoi adalah pintu masuk Sukirno muda kian memantapkan niatnya untuk sepenuhnya fokus dengan dunia tumbuhan. Ketika itu, karena melihat Sukirno sangat telaten merawat dan mengurusi tumbuhan, khususnya pertamanan yang ada di Lagoi, pimpinan kerjanya pun menanyakan jumlah bibit yang dipunya Sukirno di rumah. "Saya bilang saja banyak, lha wong saya punya 2.000 bibit," tutur Sukirno. 

Akan tetapi, rupanya pemikiran Sukirno keliru. Banyak yang dimaksudkannya tak sama dengan banyak yang diminta pihak kawasan wisata Lagoi. "Mereka minta 6.000 bibit," ujar Sukirno. Sehingga mau tak mau, Sukirno merasa tertantang untuk menyanggupi pemenuhan bibit tersebut. Dalam hati, ia bulatkan tekad, bila hendak benar-benar bergelut dan bertungkus-lumus di dunia tumbuhan, tidak boleh setengah-setengah. Dibantu sang istri, Sukirno memaksimalkan sepetak lahan di sekitar rumahnya. 

Seiring berjalannya waktu, sejak saat itu, Sukirno pun benar-benar menggeluti dunia yang dicintainya. Beruntung, Supinah, istrinya, pun punya pemikiran yang sama. Sepasang suami-istri ini pun menghidupi kebutuhan sehari-hari dari penjualan bibit tumbuhan. Bukan hanya demi mereka saja, tapi juga melibatkan warga sekitar. 

Kalau hendak kaya seorang diri, kata Sukirno, sebenarnya mudah saja. "Karena orang tak bisa membaca harga tumbuhan. Ada yang setinggi sejengkal bisa dihargai Rp 10 juta, tapi ada juga yang setinggi dua meter tapi cuma Rp 500 ribu," ucapnya. 

Namun, karena berasal dari kehidupan desa yang mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, Sukirno tak menghendaki kondisi itu. "Kalau yang ada di otak saya ini cuma bisnis aja, sudah dari dulu kaya, Mas," ucapnya. Sehingga filosofi berbagi rezeki bersama tetangga menjadi jalur yang Sukirno tempuh. Ia tak pernah mempermasalahkan kondisi rumahnya yang masih berdinding kayu. "Karena tidak semua itu harus diukur pakai materi. Bila tak ada hikmahnya ya sama saja," cetusnya. 

Maka, meski sudah menerima penghargaan bergengsi tingkat nasional Sukirno masih menjadi Sukirno yang dulu. Tak ada yang berubah darinya. "Karena tak pernah terpikir akan mendapat piala macam ini," katanya seraya menuding trofi yang diserahkan Wapres Boediono itu. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar