Sepetak lahan tempat Pakde Kirno merawat bibit-bibit lokal asli Bintan yang tak jauh dari rumahnya. F/Fatih |
Sudah Tebar 1 Miliar Bibit, Utamakan Bibit Lokal Bintan
Tanam. Tanam. Tanam. Hijau. Hijau. Hijau. Itu mimpi panjang Mahmud Sukirno, warga Desa Toapaya Utara, Bintan, setelah menerima penghargaan Kalpataru 2014.
FATIH MUFTIH, Bintan.
Ada sebagian orang yang sedikit berbuat, tapi mengejar penghargaan demi penghargaan selama hidupnya. Ada yang justru banyak berbuat dan memberikan manfaat, tapi jarang terlihat. Beruntung hidup Sukirno. Ia berbuat sekaligus terlihat. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Bintan pun mengakomodasi kecintaan Sukirno terhadap tumbuhan hingga menasbihkannya sebagai perintis lingkungan hijau 2014. Dari 240 juta jumlah penduduk Indonesia, Sukirno adalah satu dari 13 peraih penghargaan tingkat nasional ini.
Meski begitu, pria kelahiran 15 Juni 1964 silam ini mengaku, tak pernah tahu apa itu Kalpataru. "Saya saja baru tahu dari tetangga yang buka iPad di sini," katanya. Selama lebih dari 17 tahun menggeluti botani, tak pernah terpikirkan olehnya, apa yang dibuatnya ini justru mengantarnya hingga ke istana wakil presiden RI. Tentu itu semua tak lepas dari kecintaan Sukirno terhadap tumbuhan. Baginya, tumbuhan bukan sekadar komoditi untuk mencari keuntungan.
Karena bila mencari keuntungan, seperti yang pernah dikatakan berulang kali, rumahnya barangkali sudah bukan papan lagi. Tapi beton dan bertingkat. Apa yang Sukirno katakan ini ada benarnya. Bayangkan saja, sejak awal kali membibit tumbuhan segala jenis varietas yang mungkin dikembangkan, setidaknya sudah ada 1 miliar bibit pohon yang Sukirno tanam. Seribu juta bibit itu tersebar hampir ke seluruh kabupaten/kota yang ada di Kepulauan Riau.
Bila tiap bibit Sukirno memperoleh keuntungan Rp 1.000 perak saja, pundi-pundi kekayaan Sukirno bisa mencapai Rp 1 triliun!
Sekali lagi, Sukirno menegaskan bukan rupiah yang ia cari dari kecintaannya akan botani. Asal mencukupi kehidupan sehari-hari dan mampu menyekolahkan anak-anaknya, sudah menjadi kekayaan nyata bagi Sukirno. Sehingga, bapak dua anak ini tak ragu-ragu memberikan bibitnya secara cuma-cuma kepada warga sekitar. "Walau belum bisa banyak. Karena untuk itu juga butuh duit untuk beli polybag, upah yang ngisi tanah, dan penyemaian," ucapnya. Semisal kala hendak menyambut Hari Lingkungan Hidup Nasional tahun lalu.
Sukirno mengusulkan kepada Kepala Desa Toapaya Utara untuk mengadakan gotong-royong menanam pohon di sekitar kantor kepala desa hingga di beberapa tepi ruas jalan utama. "Saya bilang sama Pak Kades, bapak tinggal kerahkan masyarakat saja, urusan bibit saya yang urus," kenang Sukirno. Maka, bila Anda melintas di jalur lama Bintan ke Tanjunguban, jangan heran bila anda mendapati tumbuhan-tumbuhan di tepian jalan itu adalah "sentuhan-midas" Sukirno.
"Bayangkan saja, Mas, kalau satu pohon itu bisa kasih oksigen untuk banyak orang, apalagi banyak pohon. Ini jadi amal yang tak putus-putus," ucap Sukirno lirih.
Keberadaan trofi dan sertifikat Kalpataru 2014 di rumah Sukirno, kian menyalakan api semangat suami Supinah ini. Api semangat itu, kata dia, bahkan dipantik langsung oleh Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, yang dijumpainya di Jakarta. "Kata Pak Menteri, tantangan menaklukkan tanah Bintan ini berbeda dengan tanah Jawa dan Sumatra," kata Sukirno, merujuk kalimat Menhut.
Pernyataan Zulkifli didasari dengan kondisi tanah Bintan yang selama ini lebih banyak dimanfaatkan sebagai pertambangan. Bauksit, misalnya. Selain itu, juga dikarenakan kada keasaman (ph) tanah Bintan yang membuatnya tak bisa sembarangan ditanami. Terkait hal yang pertama, Sukirno mengaku selalu ngeri bila membayangkan pengerukan perut bumi itu terus berlangsung. Karena imbasnya langsung terasa dengan penggundulan lahan-lahan hijau. "Ngeri saja kalau nanti keluar rumah langsung gosong," ucapnya.
Namun, bukanlah Sukirno bila hanya kengerian-kengeriannya saja yang diumbarkan. Ia mengatakan, sudah menjalin hubungan dengan kontraktor penambang untuk melakukan penghijauan. Ini merupakan tanggung jawab Sukirno yang tak bisa ia elakkan. Sukirno pun menyanggupi tantang penghijauan lahan bekas tambang seluas 260 hektare. "Sekarang baru digarap 30 hektare dulu dengan bibit pohon karet," ujarnya. Mengapa karet?
Sukirno mengusulkan kepada penaja pertambangan agar penghijauan ini bukan sekadar menghijaukan kembali lahan-lahan yang sudah dikeruk kekayaan buminya. Melainkan Sukirno juga menginginkan ada pemanfaatan lanjutan dari penghijauan itu. "Kalau ditanam karet, kan juga bisa menyerap tenaga kerja penyadapnya," sebutnya. Kontraktor pun menerima usulan nominasi Kalpataru 2012 ini.
Sementara untuk mengakali status lahan Bintan, yang kata Menhut Zulkifli Hasan, sebagai lahan paling kritis tingkat kesuburannya di Indonesia, Sukirno sudah punya strateginya. Saat ini, ia sedang mencoba menyemai dan memperbanyak bibit-bibit lokal asli tanah Bintan. Menurutnya, bibit lokal punya banyak keunggulan ketimbang bibit-bibit unggul dari luar daerah. "Karena bibit lokal itu sudah sesuai dengan kondisi tanah di sini," ungkap Sukirno. Sehingga, Sukirno tak bosan-bosan mengingatkan petani Bintan agar tak mudah tergiur dengan iming-iming keunggulan bibit luar daerah.
Di antara sekian bibit unggul lokal yang tenga ditumbuh-kembangkan Sukirno, seperti gaharu, sengon, medang, teraling, bingangor, mahoni, dan pulai. "Karena jenis-jenis pohon ini sudah ada di sini sebelum kita," ujar Sukirno. Karena bila tak segera diperbanyak varietas bibit lokal itu, Sukirno mengkhawatirkan jenis-jenis kayu hutan itu segera punah. Untuk menyelaraskan pembibitan itu, Sukirno sudah menggandeng Dinas Kehutan dan Pertanian Bintan. "Sudah menjadi mimpi saya untuk membuat hutan-hutan yang menjadi lahan konservasi bibit-bibit unggul lokal," tutup Sukirno. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar