Deretan buku sastra koleksi Perpustakaan Daerah Bintan. Belum banyak buku sastra teranyar di sini. F/Fatih. |
Susahnya Menemukan Buku Sastra Terbitan Terbaru
"Beberapa sebab mendasar amburadulnya Indonesia sekarang, mungkin sekali karena dalam fase pertumbuhan intelektual, mereka membaca nol buku sastra di sekolah," kata penyair Taufiq Ismail usai menerima Habibie Award tujuh tahun silam.
FATIH MUFTIH, Bintan.
Tiga siswa berseragam biru-putih itu meriung. Di hadapannya, ada banyak buku dalam keadaan terbuka. Selisik punya selisik, tiga siswa SMPN 1 Bintan itu sedang menyalin bahan pelajaran jelang menghadapi ujian akhir semester genap. "Buku fisika dan penjaskesnya sudah nggak ada di sekolah, Om. Jadi kami nyalin di sini," kata Vani, ditemui Batam Pos di Perpustakaan Daerah Bintan, Kijang, Selasa (10/6) lalu.
Kepada Batam Pos, Vani menuturkan, dia dan teman-temannya hanya ke perpustakaan kala ada tugas dari sekolah saja. Selebihnya, ia jarang mengunjungi perpustakaan dua lantai itu. Saat ditanya, mengapa jarang mengunjungi perpustakaan yang memiliki ribuan koleksi judul buku itu, Vani dan kedua temannya hanya tersenyum malu. Sebuah senyum polos khas anak-anak. "Buku ceritanya nggak ada yang bagus, Om," celetuk Ary, teman Vani.
Karena penasaran dengan penuturan Ary, Batam Pos pun menelisik koleksi buku sastra yang ada di Perpustakaan Daerah Bintan. Tentu, sebagaimana perpustakaan pada umumnya, sesaat sebelum melihat koleksi, terlebih dahulu diminta mengisi buku kunjungan. Pada tahapan ini, agak memusingkan. Karena kunjungan ini terjadi di bulan Juni. Sedangkan daftar pengunjung yang disediakan hanya sampai bulan April. Karena tak ada petugas yang bisa dimintai keterangan, mau tak mau, Batam Pos pun menuliskan absensi kunjungan di daftar pengunjung bulan April.
Tak ada panduan khusus untuk menuju rak koleksi buku sastra. Karena posisi rak buku yang begitu berhimpitan satu dengan yang lain. Setelah beberapa saat berpusing di sekitar rak buku manajemen dan politik, akhirnya terlihat juga rak koleksi buku-buku sastra. Rak itu tepat berada di pojok lantai dua membelakangi jendela.
Kemungkinan besar, inilah rak yang Ary maksudkan, yang tak menyediakan buku-buku cerita bagus. Batam Pos kemudian memindai beberapa judul koleksi yang ditata rapi di rak tersebut. Tidak banyak judul buku sastra yang dikoleksi Perpustakaan Daerah Bintan. Rata-rata yang terlihat adalah koleksi buku-buku sastra lama. Semisal, 'Putri' karya Putu Wijaya, terbitan tahun 2004. Kemudian ada juga 'Rafilus' karya Budi Darma terbitan tahun 1988. Kedua buku ini, berdasarkan keterangan yang tertera di halaman belakang, merupakan hibah dari Perpustakaan Nasional RI tahun 2007.
Selain itu, masih ada lagi beberapa karya sastrawan lainnya. Sekadar menyebutkan, ada Sidney Sheldon, Agatha Christie, Ernest Hemingway, Sapardi Djoko Damono, Mochtar Lubis, AA. Navis, Utuy Tatang Sontani, Marga T, V. Lestari, S. Mara Gd, dan masih banyak lagi penulis lainnya.
Tak dipungkiri, beberapa nama yang disebutkan di atas merupakan penulis terbaik di eranya. Hanya saja, banyak anak-anak yang tak mengenalinya di era kini. Ketiga siswa SMP yang dijumpai tadi, menggeleng sekaligus mengikik kala ditanya tentang Putu Wijaya, Sapardi Djoko Damono, hingga Agatha Christie. "Itu penulis-penulis lama ya, Om," kata Vani terperangah.
Ketaktahuan dan keterasingan siswa hari ini dengan penulis-penulis besar Indonesia dan dunia membuat ratusan koleksi buku sastra di Perpustakaan Daerah Bintan tak terjamah. Hal ini terlihat dari debu yang menempel di atas buku kala ditarik dari jajarannya. Keterasingan ini, menurut Yoan Sutrisna Nugraha, penulis muda asal Tanjungpinang, dapat diretas dengan pengenalan-kembali sastra kepada remaja.
"Mau tak mau, dengan mengenalkan mereka dari dunia yang paling dekat. Dari novel-novel pop dan terbaru," ujar Yoan ketika dikonfirmasi, Senin (16/6) kemarin.
Sayangnya, dari sekian banyak buku cerita yang ada di Perpustakaan Daerah Bintan, tak satu pun yang menyediakan buku terbitan terbaru. Bahkan, setelah dibuka beberapa novel untuk melihat tahun penerbitannya, Batam Pos agak kesulitan untuk menemukan buku terbitan 2010 ke atas.
Kepala Kantor Perpustakaan dan Arsip Bintan Romlah pernah mengatakan, bahwasanya perpustakaan memiliki keterbatasan ruang untuk menambah koleksinya. "Sekarang saja sudah susah menata buku yang ada," kata Romlah, beberapa waktu lalu. Selama masih terbatas ruangan yang ada, sambung Romlah, agak sulit melakukan pengadaan buku-buku baru. Termasuk menambah koleksi buku-buku sastra terbaru.
Mengetahui keadaan ini, Yoan menilai, ketiadaan koleksi buku-buku sastra terbaru kian menyulitkan mendekatkan sastra dengan anak-anak. "Karena nggak mungkin, anak-anak itu langsung disuruh baca Hemingway atau Putu Wijaya," ujarnya.
Dalam posisi sedemikian ini, sambung Yoan, mau tak mau guru di sekolah punya peranan besar. Apalagi guru bahasa Indonesia, yang sudah menjadi tugasnya untuk mengenalkan sastra kepada siswa bukan sekadar tataran teorinya saja.
Kalau pun tak begitu, perpustakaan harus ringan kaki untuk menjemput bola. "Tapi jangan asal jemput bola," sergah Yoan. Melainkan juga harus membenahi dan menginventarisasi buku-buku sastra terbaru yang hendak ditawarkan ke siswa di tiap sekolah.
Keharusan membaca sastra di Indonesia, kata Taufiq Ismail, bukan bertujuan untuk menjadikan siswa sebagai calon sastrawan. "Membaca buku sastra mengasah dan menumbuhkan budaya baca buku secara umum. Latihan menulis mempersiapkan orang mampu menulis di bidangnya masing-masing," tulis Taufiq pada sebuah esainya.
Pada esai itu juga dituliskan fakta yang mengejutkan. "Di saat pelajar Indonesia tidak mendapatkan tugas membaca dan mengarang, pelajar SMA di Amerika Serikat diharuskan membaca 32 buku dan bahkan negara berkembang Thailand juga diharuskan membaca lima buku," tulis Taufiq.
Sebagai badan yang mengurusi koleksi-koleksi arsip dan buku-buku, perpustakaan juga punya peranan penting untuk meningkatkan minat baca siswa. Bila tidak, buku-buku sastra hanya akan jadi koleksi pemanis yang dilekati debu dalam ruangan saja. Miris. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar